Senin, 08 Oktober 2007

Reaktualisasi Gasasan Jembatan Selat Sunda

Kemacetan 14 Km selama lebih dari tiga minggu di Pelabuhan Merak dan Bakuheni menunjukkan masih lemahnya manajemen transportasi nasional. Kasus tersebut membuktikan bahwa sektor perhubungan darat, laut, dan udara yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumetara tidak pernah lepas dari berbagai masalah. Mulai masalah karena faktor alam, masalah klasik yang bersifat teknis seperti: rusaknya infrastruktur transportasi, hingga persoalan kontemporer menyangkut kualitas pelayanan kepada publik pengguna transportasi.

Masalah-masalah yang menyangkut faktor alam antara lain cuaca dan iklim, topografi, bencana alam, dan lain-lain yang dapat mengganggu kelancaran, keamanan, dan kenyamanan transportasi. Sedangkan berbagai masalah yang menyangkut kualitas pelayanan kepada publik antara lain ketersediaan sarana transportasi dalam jumlah dan kualitas yang kurang memadai, rendahnya tingkat ketepatan jadwal perjalanan, hingga tarif jasa transportasi. Selain itu masalah klasik bersifat teknis yang selama ini tidak pernah terselesaikan antara lain: keterbatasan infrastruktur transportasi, buruknya kualitas infrastruktur yang sangat berpengaruh pada keselamatan dan keamanan publik, dan inefisiensi di sektor perhubungan.

Semua masalah tersebut sampai saat ini masih membelit perhubungan antara Pulau Jawa dan Sumatera baik di matra darat, laut, maupun udara. Terutama untuk matra darat dan laut, saat ini menghadapi kendala yang sangat serius. Bila permasalah serius tersebut tidak segera ditangani maka dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi kedua pulau, bahkan pada gilirannya dapat mempengaruhi ketahanan nasional.

Perhubungan jalur darat dan laut yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera saat ini mayoritas melalui Selat Sunda. Hampir seluruh pergerakan barang dan manusia dari Pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya yang menggunakan jalur transportasi darat selalu melalui Selat Sunda dengan pintu keluar masuk Pelabuhan Merak di ujung Barat Pulau Jawa dan Pelabuhan Bakauheni di ujung Selatan Sumatera. Dengan menggunakan kendaraan besar dan kecil, barang dan manusia di transportasikan antara dua pulau ini melalui Pelabuhan Merak dan Bakauheni setiap saat sepanjang tahun tanpa pernah berhenti.

Dengan demikian, posisi dua pelabuhan di ujung dua pulau besar di Indonesia itu sangat penting dan strategis. Betapa tidak, rata-rata 25.000 unit kendaraan pribadi dan niaga serta 70.000 orang setiap hari melintasi Selat Sunda melalui Pelabuhan Merak dan Bakauheni. Selain itu, tak kurang dari 1,2 juta ton batubara setiap tahun diseberangkan dari Pulau Sumatera menuju berbagai tempat di Pulau Jawa melintasi Selat Sunda. Dengan demikian, gangguan yang terjadi pada dua pelabuhan ini maupun sarana penyeberangannya berupa kapal-kapal ferry RORO dan kapal penganggkut batu bara jelas akan sangat mengganggu kelancaran, kenyamanan, dan keamanan penyeberangan barang dan manusia antara dua pulau.

Terjadinya gangguan juga akan menyebabkan pembengkakan biaya operasional yang sangat membebani aktivitas bisnis yang harus menyeberangi Selat Sunda melalui dua pelabuhan tersebut. Pada gilirannya, terjadi inefisiensi ekonomi yang harus ditanggung oleh seluruh dunia usaha maupun masyarakat umum. Hal ini tentu sangat tidak menguntungkan di tengah upaya keras pemerintah meningkatkan pelayanan publik dan memperbaiki iklim investasi. Terhambatnya arus transportasi darat dan laut jelas akan menurunkan minat para investor asing untuk menanamkan modalnya di Pulau Sumatera maupun Jawa.

Kasus kemacetan yang sangat panjang selama hampir tiga minggu terakhir menjelang pintu Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni akibat tujuh kapal RORO harus masuk dok dalam waktu hampir bersamaan, telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Bila masalah kritis ini tidak segera diatasi dengan jalan keluar yang komprehensif bisa terjadi kerugian yang dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dan kongesti perekonomian baik di Pulau Jawa maupun Pulau Sumatera.

Kongesti dan stagnasi itu dapat terjadi, mengingat di antara dua pulau ini telah terjalin saling ketergantungan dan keterkaitan ekonomi, sosial, dan budaya yang sangat kuat. Saling ketergantungan dan keterkaitan ini akan terus menguat sejalan dengan terus tumbuhnya aktivitas ekonomi, sosial dan budaya di antara para penduduk dan dunia usaha di dua pulau tersebut. Karena itulah, dalam konteks hubungan ekonomi, sosial, budaya dan hankam, hubungan Pulau Jawa dan Sumatera yang sangat sangat strategis tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada keberadaan Selat Sunda serta Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakuheni.

Untuk itu segala keterbasan yang melekat pada dua pelabuhan sebagai penghubunga Pulau Sumatera dan Pulau Jawa itu harus segera dipecahkan dan ditemukan solusinya yang komprehensif. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan membangun jembatan penghubung langsung Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera yang melintasi Selat Madura. Alternatif ini telah digagas sejak tahun 1986 silam. Gagasan Jembatan Selat Sunda yang dicetuskan oleh Prof Sedyatmo sejak akhir dekade 1960-an itu merupakan alternatif yang dapat mengurangi banyak kendala dan masalah sektor transportasi yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Menengok kembali ke masa lalu, di awal tahun 1986 pemerintah sebenarnya telah menyadari bahwa pada suatu saat perhubungan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera akan menghadapi titik kritis, karena akan sangat banyak masalah seperti yang terjadi saat ini. Ketika itu, pemerintah menetapkan salah satu solusinya adalah dengan penunjang moda transportasi yang menghubungkan pulau-pulau Sumatera, Jawa, Madura dan Bali. Untuk itu akan dibangun sistem jembatan penghubung yang terdiri dari tiga jembatan yaitu Sumatera-Jawa, Jawa Madura, dan Jawa Bali. Tiga jembatan tersebut selanjutnya disebut dengan Proyek Trinusa Bimasakti, salah satunya adalah Jembatan Selat Sunda.

Sejak 1986 berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta, juga akademisi dan pakar telah melakukan berbagai kajian kelayakan dasar atas Proyek Trinusa Bimasakti itu. Misalnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diberikan tugas untuk melakukan studi dari aspek teknologi, dan Departemen Pekerjaan Umum melakukan kajian untuk aspek-aspek sosial dan ekonomi bekerjasama dengan pemerintah Jepang. Dari sisi teknis, ditemukan adanya kendala menyangkut aspek geologinya.

Namun karena banyaknya kendala teknis dan financial yang dihadapi, maka studi awal yang dilakukan dua lembaga pemerintah itu pun tidak dapat berlanjut menjadi studi teknis dan dan studi kelayakan. Selanjutnya pada pertengahan dekade 1990-an, kembali dilakukan pra-studi kelayakan yang dilakukan oleh lembaga swasta. Dari pra-studi kelayakan oleh pihak swasta itu antara lain diperoleh hasil, jembatan dibangun dengan sistem konstruksi cable stayed, jarak tempuh jembatan sepanjang 26,6 Km terdiri dari bentang jembatan 20 Km dan jalan akses penghubung 6,6 Km, ketinggian jembatan 65 meter hingga 70 meter dari permukaan laut, rute jembatan melalui Merak-Paku-Sangiang-Panjurit-Kandang Lunik-Kandang Balak-Kelapa-Bakauheni. Jembatan ini akan dioperasikan dengan sistem jalan tol ini terdiri dari dua arah masing-masing tiga jalur.

Pra-studi kelayakan saat itu juga memperkirakan biaya pembangunan jalan dan jembatan tol itu akan mencapai Rp25 triliun dengan masa konstruksi atau pembangunan struktur mencapai 10 tahun. Selain pembangunan jembatan dan jalan akses penghubung juga dibangun sarana pendukung dan pemadu moda transportasi antara lain jalan dan stasiun kereta api, jaringan listrik dan telepon, serta pengembangan lahan untuk areal komersil.

Namun sayangnya, pra-studi kelayakan tersebut tidak berhasil dilanjutkan menjadi studi kelayakan definitive karena terjadinya krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik di dalam negeri. Meski demikian, untuk saat ini, hasil-hasil pra-studi kelayakan tersebut sudah lebih maju dan masih tetap dapat dijadikan pijakan awal untuk menyelesaikan studi kelayakan hingga tahap final dan pra-konstruksi. Paling tidak, proses realisasi proyek Trinusa Bimasakti tersebut tidak harus mulai dari nol lagi.

Alternatif solusi pembangunan Jembatan Selat Sunda merupakan pemikiran yang layak terus dikembangkan hingga direalisasikan, mengingat masalah klasik sektor perhubungan darat antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sudah sampai pada titik kritis. Pembangunan Jembatan Selat Sunda meskipun menelan investasi yang sangat besar dan proyek konstruksinya memakan waktu yang panjang, tetap jauh lebih layak dikembangkan dibandingkan hanya mengandalkan pada jalur penyeberangan laut seperti saat ini. Solusi konvensional dengan cara penambahan armada ferry RORO atau sekedar memperluas dan meningkatkan kapasitas pelabuhan.

Dengan dibangunnya Jembatan Selat Sunda ini, maka akan banyak masalah klasik sektor perhubungan yang melintasi Selat Sunda yang bisa terselesaikan. Masalah yang terselesaikan itu antara lain distribusi barang-barang kebutuhan masyarakat akan lebih lancer dan menekan biaya operasional yang ditanggung dunia usaha. Selain itu, Jembatan Selat Sunda dapat menjadi ikon atau landmark baru yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Karena itu sudah selayaknya pemerintah pusat maupun daerah merespons kembali solusi alternatif Jembatan Selat Sunda yang telah didambakan masyarakat sejak lama. Pembangunan Jembatan Selat Sunda ini tentunya juga harus melibatkan berbagai unsur antara lain akademisi, pakar, dan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk juga dunia usaha dan elemen-elemen masyarakat sebagai stakeholder bangsa ini